KEBUDAYAAN MASYARAKAT BUGIS
Bugis merupakan salah satu suku yang terdapat di
Indonesia, khususnya di Provinsi Sulawesi Selatan. Suku Bugis
adalah suku yang sangat menjunjung tinggi harga diri dan martabat. Suku ini
sangat menghindari tindakan-tindakan yang mengakibatkan turunnya harga diri
atau martabat seseorang. Jika seorang anggota keluarga melakukan tindakan yang
membuat malu keluarga, maka ia akan diusir atau dibunuh. Namun, adat ini sudah
luntur di zaman sekarang ini. Tidak ada lagi keluarga yang tega membunuh anggota
keluarganya hanya karena tidak ingin menanggung malu dan tentunya melanggar
hukum. Sedangkan adat malu masih dijunjung oleh masyarakat Bugis kebanyakan.
Walaupun tidak seketat dulu, tapi setidaknya masih diingat dan dipatuhi.
A.
Sistem Religi dan Kepercayaaan
Sejak
dahulu, masyarakat Sulawesi Selatan telah memiliki aturan tata hidup. Religi
suku Bugis dan Makassar pada zaman pra islam adalah sure galigo, sebenarnya
keyakinan ini telah mengandung suatu kepercayaan pada satu dewa tunggal, biasa
disebut patoto e (dia yang menentukan nasib), dewata seuwae (tuhan tunggal),
turie a rana (kehendak yang tertinggi). Saat agama islam masuk ke Sulawesi
Selatan pada awal ke-17, ajaran agama islam mudah diterima masyarakat. Karena
sejak dulu mereka telah percaya pada dewa tunggal. Proses penyebaran islam
dipercepat dengan adanya kontak terus menerus antara masyarakat setempat dengan
para pedagang melayu islam yang telah menetap di Sulawesi Selatan.
Sekitar
90% dari penduduk Sulawesi Selatan adalah pemeluk agama Islam, sedangkan hanya
10% memeluk agama Kristen Protestan atau Katolik. Umat Kristen atau Katolik
umumnya terdiri dari pendatang-pendatang orang Maluku, Minahasa, dan lain-lain
atau dari orang Toraja. Mereka ini tinggal di kota-kota terutama di Makassar.
Bagaimana
dengan sistem religi masyarakat sampai sekarang ini? Sebagaimana kita ketahui
bahwa kebudayaan tidaklah stagnan, tetapi akan selalu mengalami perkembangan
seiring dengan tuntutan zaman. Meskipun demikian, masih banyak
kepercayaan-kepercayaan yang dianut masyarakat di masa lalu dan masih dijaga
hingga saat ini. Seperti pada acara selamatan ( orang melakukan barasanji),
kepercayaan terhadap animisme, dinamisme, dan kepercayaan terhadap hal-hal yang
dianggap keramat.
B.
Sistem Organisasi Kemasyarakatan
Suku
Bugis merupakan suku yang menganut sistem patron klien atau sistem kelompok
kesetiakawanan antara pemimpin dan pengikutnya yang bersifat menyeluruh. Salah
satu sistem hierarki yang sangat kaku dan rumit. Namun, mereka mempunyai
mobilitas yang sangat tinggi, buktinya dimana kita berada tak sulit berjumpa
dengan manusia Bugis. Mereka terkenal berkarakter keras dan sangat menjunjung
tinggi kehormatan, pekerja keras demi kehormatan nama keluarga.
Sistem
organisasi sosial yang terdapat di suku Bugis cukup menarik untuk diketahui.
Yaitu, kedudukan kaum perempuan yang tidak selalu di bawah kekuasaan kaum
laki-laki, bahkan di organisasi sosial yang berbadan hukum sekalipun. Karena
Suku Bugis adalah salah satu suku di Nusantara yang menjunjung tinggi hak-hak
Perempuan. Sejak zaman dahulu, perempuan di suku Bugis sudah banyak yang
berkecimpung di bidang politik setempat.
Salah satu bentuk organisasi
kemasyarakatan yang dianut oleh orang bugis adalah tudang sipulung (Tudang =
Duduk, Sipulung = Berkumpul atau dapat diterjemahkan sebagai suatu Musyawarah
Besar). Musyawarah ini biasanya dihadiri oleh para Pallontara’ (ahli mengenai
buku Lontara’) dan tokoh-tokoh masyarakat adat untuk membahas tentang kegiatan
bercocok tanam, mulai dari dari turun ke
sawah, membajak, sampai tiba waktunya panen raya. Tapi itu dulu. Ketika tanah
dan padi masih menjadi sumber kehidupan yang mesti dihormati dan diagungkan.
Sebelum akhirnya bertani menjadi sarana bisnis dan proyek peningkatan surplus
produksi ekonomi nasional.
C.
Sistem Pengetahuan
Masyarakat
bugis adalah masyarakat yang menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Dilihat
dari sejarahnya bahwa masyarakat bugis telah memiliki kesusasteraan
tertulis sejak berabad-abad lamanya dalam bentuk lontara. Dimana Lontara mempunyai
dua pengertian yang terkandung didalamnya yakni:
·
Lontaraq sebagai sejarah dan ilmu pengetahuan
·
b. Lontaraq sebagai tulisan
Hal ini
berarti, masyarakat Bugis memberi perhatian terhadap ilmu pengetahuan sejak dahulu kala. Meskipun
sebagian dari masyarakat awam beranggapan bahwa sekolah itu mahal yang berarti
mereka harus mengorbankan sebagian harta mereka untuk pendidikan anak-anaknya.
Tetapi realita yang nampak di hadapan
kita adalah banyak pelajar-pelajar sulawesi selatan yang pengetahuan menuntut
ilmu tidak hanya di daerah setempat, tidak juga sebatas daerah lain di
Indonesia, tetapi juga hingga tingkat internasional.
Contoh lain
misalnya, dalam kurikulum pendidikan di Sulawesi Selatan di wajibkan
mempelajari bahasa daerah hingga tingkat SMP. Hal ini diharapkan agar bahasa
daerah tetap terjaga dan tetap ada dalam keseharian masyarakatnya.
Seperti
halnya yang dikatakan oleh seorang cendikiawan Bugis yang hidup pada masanya
yang bernama Nenek Mallomo mengatakan “Naiya Ade’e De’nakkeambo, de’to
nakkeana.” ( sesungguhnya ADAT itu tidak mengenal Bapak dan tidak mengenal
Anak).
D.
Bahasa
Etnik
Bugis mempunyai bahasa tersendiri dikenali sebagai Bahasa Bugis (Ugi)
Konsonan di dalam Ugi pula di kenali sebagai Lontara yang berdasarkan tulisan Brahmi. Orang Bugis mengucapkan bahasa Ugi dan telah memiliki kesusasteraan tertulis sejak berabad-abad lamanya dalam bentuk lontar. Huruf yang dipakai adalah aksara lontara, sebuah sistem huruf yang berasal dari Sanskerta.
Konsonan di dalam Ugi pula di kenali sebagai Lontara yang berdasarkan tulisan Brahmi. Orang Bugis mengucapkan bahasa Ugi dan telah memiliki kesusasteraan tertulis sejak berabad-abad lamanya dalam bentuk lontar. Huruf yang dipakai adalah aksara lontara, sebuah sistem huruf yang berasal dari Sanskerta.
Seperti
halnya dengan wujud-wujud kebudayaan lainnya. Penciptaan tulisan pun diciptakan
karena adanya kebutuhan manusia untuk mengabdikan hasil-hasil pemikiran mereka.
Kata lontaraq berasal dari Bahasa Bugis/Makassar yang berarti daun lontar. Karena
pada awalnya tulisan tersebut di tuliskan diatas daun lontar. Tiap-tiap daun
lontar disambungkan dengan memakai benang lalu digulung pada jepitan kayu, yang
bentuknya mirip gulungan pita kaset. Cara membacanya dari kiri kekanan.
Lontara
Bugis-Makassar merupakan sebuah huruf yang sakral bagi masyarakat bugis klasik.
Huruf lontara tidak hanya digunakan oleh masyarakat bugis tetapi huruf lontara
juga digunakan oleh masyarakat makassar.
Contoh
pemakaian bahasa Bugis: "Makan ma'ki (silakan Anda makan)".
“Aga
tapigau?”( apa yang sedang anda lakukan?). Adapun partikel-partikel yang biasa
digunakan dalam bahasa bugis-Makassar seperti ji, mi, pi, mo, ma', di', tonji,
tawwa, pale. Contoh penggunaannya misalnya : “tidak papa ji.” (tidak apa-apa).
E.
Kesenian
Bugis bukanlah sekedar salah satu suku
yang terdapat di Sulawesi Selatan,
melainkan juga sebuah identitas kultural (kebudayaan) yang menggambarkan
karakter dan ciri khas masyarakatnya. Suku bugis tidak hanya dikenal sebagai
bangsa yang keras , tetapi juga kaya akan kesenian. Hasil-hasil kebudayaan
masyarakat dalam bentuk kesenian dapat dilihat dari beberapa hal ini:
1.
Rumah Adat
Rumah
bugis memiliki keunikan tersendiri, dibandingkan dengan rumah panggung dari
suku yang lain. Rumah tradisional atau rumah adat yang berasal dari suku Bugis berbentuk rumah
panggung. Bentuknya biasanya memanjang ke belakang, dengan tambahan disamping
bangunan utama dan bagian depan, dimana orang bugis menyebutnya lego – lego.
Berikut
adalah bagian – bagiannya utamanya :
· Tiang utama
( alliri ). Biasanya terdiri dari 4 batang setiap barisnya. jumlahnya
tergantung jumlah ruangan yang akan dibuat. tetapi pada umumnya, terdiri dari 3
/ 4 baris alliri. Jadi totalnya ada 12 batang alliri.
· Fadongko’,
yaitu bagian yang bertugas sebagai penyambung dari alliri di setiap barisnya.
· Fattoppo,
yaitu bagian yang bertugas sebagai pengait paling atas dari alliri paling
tengah tiap barisnya.
Bagian
– bagian dari rumah bugis ini sebagai berikut :
· Rakkeang,
adalah bagian diatas langit – langit ( eternit ). Dahulu biasanya digunakan
untuk menyimpan padi yang baru di panen.
· Ale Bola,
adalah bagian tengah rumah. dimana kita tinggal. Pada ale bola ini, ada titik
sentral yang bernama pusat rumah ( posi’ bola ).
· Awa bola,
adalah bagian di bawah rumah, antara lantai rumah dengan tanah.
Yang
lebih menarik sebenarnya dari rumah bugis ini adalah bahwa rumah ini dapat
berdiri bahkan tanpa perlu satu paku pun. Semuanya murni menggunakan kayu. Dan
uniknya lagi adalah rumah ini dapat di angkat / dipindahkan.
2.
Pakaian
tradisional
Pakaian adat sulawesi selatan (bugis, makassar, mandar) adalah salah
satu produk budaya yang dibanggakan dan telah menjadi icon provinsi sulawesi
selatan, yany disebut baju bodo. Bodo gesung merupakan sebutan lain dari baju
bodo. Bodo gesung sendiri artinya baju yang berlengan pendek dan menggelembun
karena pada bagian punggungnya menggelembung. Baju bodo terdiri dari blus
sebagai pakaian bagian atas dan sarung sebagai pakaian bagian bawahnya.
3.
Alat musik
·
Kacapi ( kecapi)
Salah satu alat musik petik
tradisional Sulawesi Selatan khususnya suku Bugis, adalah kecapi. Menurut
sejarahnya kecapi ditemukan atau diciptakan oleh seorang pelaut, sehingga
bentuknya menyerupai perahu yang memiliki dua dawai, diambil karena penemuannya
dari tali layar perahu. Biasanya ditampilkan pada acara penjemputan para tamu,
perkawinan, hajatan, bahkan hiburan pada hari ulang tahun dan alat diletakkan
tegak di depan pemainnya.
·
Gendang
Gendang
merupakan alat musik yang mempunyai dua bentuk dasar yakni bulat panjang dan
bundar seperti rebana.
·
Suling
Suling
bambu/buluh, terdiri dari tiga jenis, yaitu:
• Suling panjang (suling lampe), memiliki 5 lubang nada. Suling jenis ini telah punah.
• Suling calabai (Suling ponco),sering dipadukan dengan piola (biola) kecapi dan dimainkan bersama penyanyi
• Suling dupa samping (musik bambu), musik bambu masih terplihara di daerah Kecamatan Lembang. Biasanya digunakan pada acara karnaval (baris-berbaris) atau acara penjemputan tamu.
• Suling panjang (suling lampe), memiliki 5 lubang nada. Suling jenis ini telah punah.
• Suling calabai (Suling ponco),sering dipadukan dengan piola (biola) kecapi dan dimainkan bersama penyanyi
• Suling dupa samping (musik bambu), musik bambu masih terplihara di daerah Kecamatan Lembang. Biasanya digunakan pada acara karnaval (baris-berbaris) atau acara penjemputan tamu.
4.
Seni Tari
Masyarakat
sulawesi selatan juga kaya akan tari-tarian seperti:
· Tari Pakarena merupakan tarian yangmencerminkan watak perempuan
Gowa (salah satu daerah di Sulawesi Selatan)
yang sopan, setia, patuh dan hormat kepada laki-laki terutama terhadap
suami.
· Tari
pelangi; tarian pabbakkanna lajina atau biasa disebut tari meminta hujan.
· Tari Paduppa
Bosara; tarian yang mengambarkan bahwa orang Bugis jika kedatangan tamu
senantiasa menghidangkan bosara, sebagai tanda kesyukuran dan kehormatan.
· Tari
Pattennung; tarian adat yang menggambarkan perempuan-perempuan yang sedang
menenun benang menjadi kain. Melambangkan kesabaran dan ketekunan
perempuan-perempuan Bugis.
· Tari Pajoge’
dan Tari Anak Masari; tarian ini dilakukan oleh calabari (waria), namun jenis
tarian ini sulit sekali ditemukan bahkan dikategorikan telah punah.
· Jenis tarian
yang lain adalah tari Pangayo, tari Passassa’, tari Pa’galung, dan tari
Pabbatte.
5.
Lagu Daerah
Lagu daerah
propinsi Sulawesi Selatan yang sangat populer dan sering dinyanyikan di
antaranya adalah lagu yang berasal dari Makasar yaitu lagu Ma Rencong-rencong,
lagu Pakarena serta lagu Anging Mamiri. Sedangkan lagu yang berasal dari etnis
Bugis adalah lagu Indo Logo, serta lagu Bulu Alaina Tempe.
F.
Mata Pencaharian
Wilayah Suku
Bugis terletak di dataran rendah dan pesisir pulau Sulawesi bagian selatan.
Dataran ini mempunyai tanah yang cukup subur, sehingga banyak masyarakat Bugis
yang hidup sebagai petani. Selain sebagai petani, Suku Bugis juga di kenal
sebagai masyarakat nelayan dan pedagang. Meskipun mereka mempunyai tanah yang
subur dan cocok untuk bercocok tanam, namun sebagian besar masyarakat mereka
adalah pelaut. Mereka mencari kehidupan dan mempertahankan hidup dari laut.
Tidak sedikit masyarakat Bugis yang merantau sampai ke seluruh negeri dengan
menggunakan perahu pinisi-nya.
Suku Bugis memang terkenal sebagai suku yang hidup merantau.
Beberapa dari mereka, lebih suka untuk berdagang dan mencoba
melangsungkan hidup di tanah orang lain. Hal ini juga disebabkan oleh faktor
sejarah orang Bugis itu sendiri di masa lalu. Dimana kebudayaan maritim dari orang Bugis-Makassar itu tidak hanya mengembangkan
perahu-perahu layar dan kepandaian berlayar yang cukup tinggi, tetapi juga
meninggalkan suatu hukum niaga dalam
pelayaran, yang disebut Ade’
Allopi-loping Bicaranna Pabbalu’e dan yang tertulis pada lontar oleh Amanna
Gappa dalam abad ke-17. Bakat berlayar yang rupa-rupanya telah ada pada orang
Bugis dan Makassar, akibat dari kebudayaan maritim dari abad-abad yang telah
lampau itu.
G.
Sistem Teknologi
Sistem
teknologi masyarakat sulawesi selatan dapat dilihat pada kapal pinisi yang digunakan berlayar dan juga badik
sebagai senjata tradisionalnya.
·
Kapal Pinisi
Perahu
Pinisi termasuk alat transportasi laut tradisional masyarakat Bugis yang
sudah terkenal sejak berabad-abad yang lalu. Menurut cerita di dalam
naskah Lontarak I Babad La Lagaligo, Perahu Pinisi sudah ada sekitar abad
ke-14 M. Menurut naskah tersebut, Perahu Pinisi pertama kali dibuat oleh
Sawerigading, Putra Mahkota Kerajaan Luwu. Bahan untuk membuat perahu
tersebut diambil dari pohon welengreng (pohon dewata) yang terkenal sangat
kokoh dan tidak mudah rapuh. Namun, sebelum pohon itu ditebang, terlebih
dahulu dilaksanakan upacara khusus agar penunggunya bersedia pindah ke pohon
lainnya. Sawerigading membuat perahu tersebut untuk berlayar menuju
negeri Tiongkok hendak meminang Putri Tiongkok yang bernama We Cudai.
Kapal ini umumnya memiliki dua tiang layar utama dan tujuh buah layar,
yaitu tiga di ujung depan, dua di depan, dan dua di belakang; umumnya digunakan
untuk pengangkutan barang antarpulau. Pinisi adalah sebuah kapal layar yang
menggunakan jenis layar sekunar dengan dua tiang dengan tujuh helai layar yang
dan juga mempunyai makna bahwa nenek moyang bangsa Indonesia mampu mengharungi
tujuh samudera besar di dunia.
Hingga
saat ini, Kabupaten Bulukumba masih dikenal sebagai produsen Perahu Pinisi,
dimana para pengrajinnya tetap mempertahankan tradisi dalam pembuatan perahu
tersebut, terutama di Keluharan Tana Beru.
·
Badik
Badik atau badek adalah pisau dengan bentuk khas
yang dikembangkan oleh masyarakat Bugis dan Makassar. Badik bersisi tajam tunggal atau
ganda. Seperti keris, bentuknya asimetris dan bilahnya kerap kali dihiasi
dengan pamor. Namun demikian, berbeda dari keris, badik tidak pernah memiliki
ganja (penyangga bilah).
Badik ini
merupakan senjata khas tradisonal Makassar, Bugis dan Mandar yang berada
dikepulauan Sulawesi. Ukurannya yang pendek dan mudah dibawa kemana mana.Maka
biasanya senjata adat yang bernama Badik ini dahulu sering dipakai oleh
kalangan petani untuk melindungi dirinya dari binatang melata dan atau membunuh
hewan hutan yang mengganggu tanamannya. Selain itu karena orang bugis gemar
merantau maka penyematan badik dipinggangnya membuat dia merasa terlindungi.
Badik memiliki bentuk dan sebutan yang berbeda-beda tergantung dari daerah mana
ia berasal.
Umumnya badik digunakan untuk membela diri dalam mempertahankan harga diri
seseorang atau keluarga. Hal ini didasarkan pada budaya siri' dengan makna
untuk mempertahankan martabat suatu keluarga. Konsep siri' ini sudah menyatu
dalam tingkah laku, sistem sosial budaya dan cara berpikir masyarakat Bugis,
Makassar dan Mandar di Sulawesi Selatan. Selain dari pada itu ada pula badik
yang berfungsi sebagai benda pusaka, seperti badik saroso yang memiliki nilai
sejarah. Ada pula sebagian orang yang meyakini bahwa badik berguna sebagai jimat
yang berpengaruh pada nilai baik dan buruk seseorang.
Mantap betul gan
BalasHapusTerimakasih banyak, atas informasi yang di bagikan.
BalasHapus