Jumat, 22 November 2013

KEBUDAYAAN MASYARAKAT BUGIS

KEBUDAYAAN MASYARAKAT BUGIS
            Bugis merupakan salah satu suku yang terdapat di Indonesia, khususnya di Provinsi Sulawesi Selatan. Suku Bugis adalah suku yang sangat menjunjung tinggi harga diri dan martabat. Suku ini sangat menghindari tindakan-tindakan yang mengakibatkan turunnya harga diri atau martabat seseorang. Jika seorang anggota keluarga melakukan tindakan yang membuat malu keluarga, maka ia akan diusir atau dibunuh. Namun, adat ini sudah luntur di zaman sekarang ini. Tidak ada lagi keluarga yang tega membunuh anggota keluarganya hanya karena tidak ingin menanggung malu dan tentunya melanggar hukum. Sedangkan adat malu masih dijunjung oleh masyarakat Bugis kebanyakan. Walaupun tidak seketat dulu, tapi setidaknya masih diingat dan dipatuhi.
A.    Sistem Religi dan Kepercayaaan
      Sejak dahulu, masyarakat Sulawesi Selatan telah memiliki aturan tata hidup. Religi suku Bugis dan Makassar pada zaman pra islam adalah sure galigo, sebenarnya keyakinan ini telah mengandung suatu kepercayaan pada satu dewa tunggal, biasa disebut patoto e (dia yang menentukan nasib), dewata seuwae (tuhan tunggal), turie a rana (kehendak yang tertinggi). Saat agama islam masuk ke Sulawesi Selatan pada awal ke-17, ajaran agama islam mudah diterima masyarakat. Karena sejak dulu mereka telah percaya pada dewa tunggal. Proses penyebaran islam dipercepat dengan adanya kontak terus menerus antara masyarakat setempat dengan para pedagang melayu islam yang telah menetap di Sulawesi Selatan.
      Sekitar 90% dari penduduk Sulawesi Selatan adalah pemeluk agama Islam, sedangkan hanya 10% memeluk agama Kristen Protestan atau Katolik. Umat Kristen atau Katolik umumnya terdiri dari pendatang-pendatang orang Maluku, Minahasa, dan lain-lain atau dari orang Toraja. Mereka ini tinggal di kota-kota terutama di Makassar.
     Bagaimana dengan sistem religi masyarakat sampai sekarang ini? Sebagaimana kita ketahui bahwa kebudayaan tidaklah stagnan, tetapi akan selalu mengalami perkembangan seiring dengan tuntutan zaman. Meskipun demikian, masih banyak kepercayaan-kepercayaan yang dianut masyarakat di masa lalu dan masih dijaga hingga saat ini. Seperti pada acara selamatan ( orang melakukan barasanji), kepercayaan terhadap animisme, dinamisme, dan kepercayaan terhadap hal-hal yang dianggap keramat.

B.    Sistem Organisasi Kemasyarakatan
      Suku Bugis merupakan suku yang menganut sistem patron klien atau sistem kelompok kesetiakawanan antara pemimpin dan pengikutnya yang bersifat menyeluruh. Salah satu sistem hierarki yang sangat kaku dan rumit. Namun, mereka mempunyai mobilitas yang sangat tinggi, buktinya dimana kita berada tak sulit berjumpa dengan manusia Bugis. Mereka terkenal berkarakter keras dan sangat menjunjung tinggi kehormatan, pekerja keras demi kehormatan nama keluarga.
      Sistem organisasi sosial yang terdapat di suku Bugis cukup menarik untuk diketahui. Yaitu, kedudukan kaum perempuan yang tidak selalu di bawah kekuasaan kaum laki-laki, bahkan di organisasi sosial yang berbadan hukum sekalipun. Karena Suku Bugis adalah salah satu suku di Nusantara yang menjunjung tinggi hak-hak Perempuan. Sejak zaman dahulu, perempuan di suku Bugis sudah banyak yang berkecimpung di bidang politik setempat.
          Salah satu bentuk organisasi kemasyarakatan yang dianut oleh orang bugis adalah tudang sipulung (Tudang = Duduk, Sipulung = Berkumpul atau dapat diterjemahkan sebagai suatu Musyawarah Besar). Musyawarah ini biasanya dihadiri oleh para Pallontara’ (ahli mengenai buku Lontara’) dan tokoh-tokoh masyarakat adat untuk membahas tentang kegiatan bercocok tanam,  mulai dari dari turun ke sawah, membajak, sampai tiba waktunya panen raya. Tapi itu dulu. Ketika tanah dan padi masih menjadi sumber kehidupan yang mesti dihormati dan diagungkan. Sebelum akhirnya bertani menjadi sarana bisnis dan proyek peningkatan surplus produksi ekonomi nasional.
C.    Sistem Pengetahuan
Masyarakat bugis adalah masyarakat yang menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Dilihat dari sejarahnya bahwa masyarakat bugis telah memiliki kesusasteraan tertulis sejak berabad-abad lamanya dalam bentuk lontara. Dimana Lontara mempunyai dua pengertian yang terkandung didalamnya yakni:
·       Lontaraq sebagai sejarah dan ilmu pengetahuan
·       b. Lontaraq sebagai tulisan
Hal ini berarti, masyarakat Bugis memberi perhatian terhadap ilmu  pengetahuan sejak dahulu kala. Meskipun sebagian dari masyarakat awam beranggapan bahwa sekolah itu mahal yang berarti mereka harus mengorbankan sebagian harta mereka untuk pendidikan anak-anaknya. Tetapi  realita yang nampak di hadapan kita adalah banyak pelajar-pelajar sulawesi selatan yang pengetahuan menuntut ilmu tidak hanya di daerah setempat, tidak juga sebatas daerah lain di Indonesia, tetapi juga hingga tingkat internasional.
Contoh lain misalnya, dalam kurikulum pendidikan di Sulawesi Selatan di wajibkan mempelajari bahasa daerah hingga tingkat SMP. Hal ini diharapkan agar bahasa daerah tetap terjaga dan tetap ada dalam keseharian masyarakatnya.
Seperti halnya yang dikatakan oleh seorang cendikiawan Bugis yang hidup pada masanya yang bernama Nenek Mallomo mengatakan “Naiya Ade’e De’nakkeambo, de’to nakkeana.” ( sesungguhnya ADAT itu tidak mengenal Bapak dan tidak mengenal Anak).
D.    Bahasa
      Etnik Bugis mempunyai bahasa tersendiri dikenali sebagai Bahasa Bugis (Ugi)
Konsonan di dalam Ugi pula di kenali sebagai Lontara yang berdasarkan tulisan Brahmi. Orang Bugis mengucapkan bahasa Ugi dan telah memiliki kesusasteraan tertulis sejak berabad-abad lamanya dalam bentuk lontar. Huruf yang dipakai adalah aksara lontara, sebuah sistem huruf yang berasal dari Sanskerta.

     Seperti halnya dengan wujud-wujud kebudayaan lainnya. Penciptaan tulisan pun diciptakan karena adanya kebutuhan manusia untuk mengabdikan hasil-hasil pemikiran mereka. Kata lontaraq berasal dari Bahasa Bugis/Makassar yang berarti daun lontar. Karena pada awalnya tulisan tersebut di tuliskan diatas daun lontar. Tiap-tiap daun lontar disambungkan dengan memakai benang lalu digulung pada jepitan kayu, yang bentuknya mirip gulungan pita kaset. Cara membacanya dari kiri kekanan.
Lontara Bugis-Makassar merupakan sebuah huruf yang sakral bagi masyarakat bugis klasik. Huruf lontara tidak hanya digunakan oleh masyarakat bugis tetapi huruf lontara juga digunakan oleh masyarakat makassar.
Contoh pemakaian bahasa Bugis: "Makan ma'ki (silakan Anda makan)".
“Aga tapigau?”( apa yang sedang anda lakukan?). Adapun partikel-partikel yang biasa digunakan dalam bahasa bugis-Makassar seperti ji, mi, pi, mo, ma', di', tonji, tawwa, pale. Contoh penggunaannya misalnya : “tidak papa ji.” (tidak apa-apa).

E.    Kesenian
      Bugis bukanlah sekedar salah satu suku yang terdapat di Sulawesi Selatan,  melainkan juga sebuah identitas kultural (kebudayaan) yang menggambarkan karakter dan ciri khas masyarakatnya. Suku bugis tidak hanya dikenal sebagai bangsa yang keras , tetapi juga kaya akan kesenian. Hasil-hasil kebudayaan masyarakat dalam bentuk kesenian dapat dilihat dari beberapa hal ini:
1.     Rumah Adat
            Rumah bugis memiliki keunikan tersendiri, dibandingkan dengan rumah panggung dari suku yang lain. Rumah tradisional atau rumah adat  yang berasal dari suku Bugis berbentuk rumah panggung. Bentuknya biasanya memanjang ke belakang, dengan tambahan disamping bangunan utama dan bagian depan, dimana orang bugis menyebutnya lego – lego.

            Berikut adalah bagian – bagiannya utamanya :
·       Tiang utama ( alliri ). Biasanya terdiri dari 4 batang setiap barisnya. jumlahnya tergantung jumlah ruangan yang akan dibuat. tetapi pada umumnya, terdiri dari 3 / 4 baris alliri. Jadi totalnya ada 12 batang alliri.
·       Fadongko’, yaitu bagian yang bertugas sebagai penyambung dari alliri di setiap barisnya.
·       Fattoppo, yaitu bagian yang bertugas sebagai pengait paling atas dari alliri paling tengah tiap barisnya.
            Bagian – bagian dari rumah bugis ini sebagai berikut :
·       Rakkeang, adalah bagian diatas langit – langit ( eternit ). Dahulu biasanya digunakan untuk menyimpan padi yang baru di panen.
·       Ale Bola, adalah bagian tengah rumah. dimana kita tinggal. Pada ale bola ini, ada titik sentral yang bernama pusat rumah ( posi’ bola ).
·       Awa bola, adalah bagian di bawah rumah, antara lantai rumah dengan tanah.
       Yang lebih menarik sebenarnya dari rumah bugis ini adalah bahwa rumah ini dapat berdiri bahkan tanpa perlu satu paku pun. Semuanya murni menggunakan kayu. Dan uniknya lagi adalah rumah ini dapat di angkat / dipindahkan.
2.     Pakaian tradisional
       Pakaian adat sulawesi selatan (bugis, makassar, mandar) adalah salah satu produk budaya yang dibanggakan dan telah menjadi icon provinsi sulawesi selatan, yany disebut baju bodo. Bodo gesung merupakan sebutan lain dari baju bodo. Bodo gesung sendiri artinya baju yang berlengan pendek dan menggelembun karena pada bagian punggungnya menggelembung. Baju bodo terdiri dari blus sebagai pakaian bagian atas dan sarung sebagai pakaian bagian bawahnya.
3.     Alat musik
·     Kacapi ( kecapi)

Salah satu alat musik petik tradisional Sulawesi Selatan khususnya suku Bugis, adalah kecapi. Menurut sejarahnya kecapi ditemukan atau diciptakan oleh seorang pelaut, sehingga bentuknya menyerupai perahu yang memiliki dua dawai, diambil karena penemuannya dari tali layar perahu. Biasanya ditampilkan pada acara penjemputan para tamu, perkawinan, hajatan, bahkan hiburan pada hari ulang tahun dan alat diletakkan tegak di depan pemainnya.
·       Gendang

Gendang merupakan alat musik yang mempunyai dua bentuk dasar yakni bulat panjang dan bundar seperti rebana.
·       Suling
Suling bambu/buluh, terdiri dari tiga jenis, yaitu:
• Suling panjang (suling lampe), memiliki 5 lubang nada. Suling jenis ini telah punah.
• Suling calabai (Suling ponco),sering dipadukan dengan piola (biola) kecapi dan dimainkan bersama penyanyi
• Suling dupa samping (musik bambu), musik bambu masih terplihara di daerah Kecamatan Lembang. Biasanya digunakan pada acara karnaval (baris-berbaris) atau acara penjemputan tamu.
4.     Seni Tari
                Masyarakat sulawesi selatan juga kaya akan tari-tarian seperti:
·       Tari Pakarena merupakan tarian yangmencerminkan watak perempuan Gowa (salah satu daerah di Sulawesi Selatan)  yang sopan, setia, patuh dan hormat kepada laki-laki terutama terhadap suami.
·       Tari pelangi; tarian pabbakkanna lajina atau biasa disebut tari meminta hujan.
·       Tari Paduppa Bosara; tarian yang mengambarkan bahwa orang Bugis jika kedatangan tamu senantiasa menghidangkan bosara, sebagai tanda kesyukuran dan kehormatan.
·       Tari Pattennung; tarian adat yang menggambarkan perempuan-perempuan yang sedang menenun benang menjadi kain. Melambangkan kesabaran dan ketekunan perempuan-perempuan Bugis.
·       Tari Pajoge’ dan Tari Anak Masari; tarian ini dilakukan oleh calabari (waria), namun jenis tarian ini sulit sekali ditemukan bahkan dikategorikan telah punah.
·       Jenis tarian yang lain adalah tari Pangayo, tari Passassa’, tari Pa’galung, dan tari Pabbatte.

5.     Lagu Daerah
Lagu daerah propinsi Sulawesi Selatan yang sangat populer dan sering dinyanyikan di antaranya adalah lagu yang berasal dari Makasar yaitu lagu Ma Rencong-rencong, lagu Pakarena serta lagu Anging Mamiri. Sedangkan lagu yang berasal dari etnis Bugis adalah lagu Indo Logo, serta lagu Bulu Alaina Tempe.
F.     Mata Pencaharian
                        Wilayah Suku Bugis terletak di dataran rendah dan pesisir pulau Sulawesi bagian selatan. Dataran ini mempunyai tanah yang cukup subur, sehingga banyak masyarakat Bugis yang hidup sebagai petani. Selain sebagai petani, Suku Bugis juga di kenal sebagai masyarakat nelayan dan pedagang. Meskipun mereka mempunyai tanah yang subur dan cocok untuk bercocok tanam, namun sebagian besar masyarakat mereka adalah pelaut. Mereka mencari kehidupan dan mempertahankan hidup dari laut. Tidak sedikit masyarakat Bugis yang merantau sampai ke seluruh negeri dengan menggunakan perahu pinisi-nya.
Suku Bugis memang terkenal sebagai suku yang hidup merantau. Beberapa dari mereka, lebih suka  untuk berdagang dan mencoba melangsungkan hidup di tanah orang lain. Hal ini juga disebabkan oleh faktor sejarah orang Bugis itu sendiri di masa lalu. Dimana kebudayaan maritim dari orang Bugis-Makassar itu tidak hanya mengembangkan perahu-perahu layar dan kepandaian berlayar yang cukup tinggi, tetapi juga meninggalkan suatu hukum niaga  dalam pelayaran, yang disebut Ade’ Allopi-loping Bicaranna Pabbalu’e  dan yang tertulis pada lontar oleh Amanna Gappa dalam abad ke-17. Bakat berlayar yang rupa-rupanya telah ada pada orang Bugis dan Makassar, akibat dari kebudayaan maritim dari abad-abad yang telah lampau itu.
G.   Sistem Teknologi
                  Sistem teknologi masyarakat sulawesi selatan dapat dilihat pada kapal pinisi       yang digunakan berlayar dan juga badik sebagai senjata tradisionalnya.
·       Kapal Pinisi
Perahu  Pinisi termasuk alat transportasi laut tradisional masyarakat Bugis yang sudah  terkenal sejak berabad-abad yang lalu. Menurut cerita di dalam naskah Lontarak  I Babad La Lagaligo, Perahu Pinisi sudah ada sekitar abad ke-14 M. Menurut  naskah tersebut, Perahu Pinisi pertama kali dibuat oleh Sawerigading, Putra  Mahkota Kerajaan Luwu. Bahan untuk membuat perahu tersebut diambil dari pohon welengreng (pohon dewata) yang terkenal sangat kokoh dan tidak mudah rapuh. Namun, sebelum  pohon itu ditebang, terlebih dahulu dilaksanakan upacara khusus agar  penunggunya bersedia pindah ke pohon lainnya. Sawerigading membuat perahu tersebut  untuk berlayar menuju negeri Tiongkok hendak meminang Putri Tiongkok yang  bernama We Cudai.
Kapal ini umumnya memiliki dua tiang layar utama dan tujuh buah layar, yaitu tiga di ujung depan, dua di depan, dan dua di belakang; umumnya digunakan untuk pengangkutan barang antarpulau. Pinisi adalah sebuah kapal layar yang menggunakan jenis layar sekunar dengan dua tiang dengan tujuh helai layar yang dan juga mempunyai makna bahwa nenek moyang bangsa Indonesia mampu mengharungi tujuh samudera besar di dunia.
Hingga  saat ini, Kabupaten Bulukumba masih dikenal sebagai produsen Perahu Pinisi, dimana para pengrajinnya tetap mempertahankan tradisi dalam pembuatan perahu tersebut,  terutama di Keluharan Tana Beru.
·         Badik
Badik atau badek adalah pisau dengan bentuk khas yang dikembangkan oleh masyarakat Bugis dan Makassar. Badik bersisi tajam tunggal atau ganda. Seperti keris, bentuknya asimetris dan bilahnya kerap kali dihiasi dengan pamor. Namun demikian, berbeda dari keris, badik tidak pernah memiliki ganja (penyangga bilah).
    
Badik ini merupakan senjata khas tradisonal Makassar, Bugis dan Mandar yang berada dikepulauan Sulawesi. Ukurannya yang pendek dan mudah dibawa kemana mana.Maka biasanya senjata adat yang bernama Badik ini dahulu sering dipakai oleh kalangan petani untuk melindungi dirinya dari binatang melata dan atau membunuh hewan hutan yang mengganggu tanamannya. Selain itu karena orang bugis gemar merantau maka penyematan badik dipinggangnya membuat dia merasa terlindungi. Badik memiliki bentuk dan sebutan yang berbeda-beda tergantung dari daerah mana ia berasal.

Umumnya badik digunakan untuk membela diri dalam mempertahankan harga diri seseorang atau keluarga. Hal ini didasarkan pada budaya siri' dengan makna untuk mempertahankan martabat suatu keluarga. Konsep siri' ini sudah menyatu dalam tingkah laku, sistem sosial budaya dan cara berpikir masyarakat Bugis, Makassar dan Mandar di Sulawesi Selatan. Selain dari pada itu ada pula badik yang berfungsi sebagai benda pusaka, seperti badik saroso yang memiliki nilai sejarah. Ada pula sebagian orang yang meyakini bahwa badik berguna sebagai jimat yang berpengaruh pada nilai baik dan buruk seseorang.

2 komentar: